Rabu, 28 April 2010

KONSEP DIRI DALAM SOSOK PUBIC RELATIONS

A. Sosok Public Relation.
Dalam menjalani profesi PR, beberapa pakar mengemukan sedikitnya ada lima kualifikasi yaitu:

1. Ability to communicate (Kemampuan dalam berkomunikasi)
Sebagai tenaga PR, harus mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi,
baik secara lisan maupun tertulis. Kemampuan lisan digunakan ketika berhadapan
langsung dengan pihak-pihak personal diluar perusahaan. Kemampuan berkomunikasi
lisan ini terkait dengan sifat-sifat seorang tenaga PR yang bisa mendukung keberhasilan komunikasi, Misalnya sikap ramah kepada orang lain, jelas dan bisa bertutur dengan runtut ketika menjelaskan sebuah masalah atau sebuah informasi tertentu. Dalam hal inibisa senyum saja tak cukup. Sedangkan, kemampuan komunikasi tertulis diperlukan misalnya untuk menjawab komplain dari warga masyarakat yang dilayangkan lewat surat pembaca media. Atau ketika ada kepentingan media relation (hubungan media). Biasanya orang PR bertugas membuat press release untuk konsumsi pemberitaan media.

2. Ability to organize (Kemampuan manajerial).
Kemampuan managerial ini diperlukan misalnya ketika ada event-event
yang akan digelar oleh sebuah perusahaan atau lembaga. Terutama, misalnya ketika akan
menggelar press conference yang dihadiri berbagai media untuk menjelaskan
(mempublikasikan) perusahaan atau lembaganya. Seorang tenaga PR harus bisa
mengatur kondisi ruangan, tata letak sampai kepada bagaimana seorang pejabat sebuah
perusahaan atau lembaga tampil bagus dan memukau ke publik. Ketidakmampuan dalam
memanagerial ini bisa berakibat fatal bagi perusahaan. Jika pada awalnya even-even
maupun press konference tersebut di setting untuk memberikan keterangan yang baik
perusahaan atau lembaga untuk masyarakat luas, bisa jadi ketika tidak ada manajemen
yang tertata justru malah akan berbalik arah memperburuk citra.

3. Ability to get on with people (Kemampuan membina relasi)
Kemampuan ini terkait dengan soal membangun jaringan. Seorang tenaga
PR akan lebih baik ketika mereka mempunyai jaringan (net work) yang luas. Kalaupun
tidak, mereka dipastikan orang-orang yang cepat, tanggap, bisa belajar membangun
sebuah jaringan (lembaga maupun personal). Tentu kemampuan ini bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan lembaga atau perusahaan tempat
dimana dia bekerja. Dalam bahasa yang sederhana, seorang tenaga PR adalah mereka
yang mudah bergaul dengan siapa saja, fleksible dan tidak kaku dalam menghadapi
publik. Dalam sebuah perusahaan atau lembaga, kemampuan membangun relasi ini tentu
akan sangat punya pengaruh positif terhadap keberhasilan atau goal (tujuan) yang
diinginkan semula.


4. Personality Integrity (Kepribadian jujur dan profesional).
Karena tugasnya bersinggungan dengan orang banyak, seorang tenaga PR
mutlak untuk berkepribadian jujur. Jika dalam tugasnya, misalnya ketika memberikan
keterangan perusahaan atau lembaganya itu berbelit-belit bahkan bohong. Maka, dengan
sendirinya akan menghancurkan perusahaan atau lembaganya tersebut. Dalam prakteknya
ada sebuah rumus yang sering digunakan oleh para PR yaitu “BICARALAH YANG
BAIK ATAU DIAM”. Artinya, untuk konsumsi publik, yang penting adalah
mempublikasikan yang baik-baik saja, tidak perlu mengekspose keburukannya. Kalau
memang ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atau dikecewakan, baru diberikan
penjelasan secara jujur dan apa adanya atas sebuah masalah yang dikehendaki. Usahakan
dari pihak yang mempermasalahkan menerima baik penjelasan yang diberikan.
Sementara pihak lembaga atau perusahaan sendiri juga tidak terlalu terpojok dengan
kabar buruk yang bisa jadi memang terjadi dan benar adanya.


5. Imagination ( kreatif)
Pekerjaan PR itu dinamis, banyak hal yang akan dihadapi. Apalagi kalau
mencermati perkembangan jaman sekarang dimana teknologi dan informasi begitu pesat.
Saat ini, soal citra tidak hanya bisa berlangsung dan dibaca lewat media massa. Era iniadalah eranya internet. Maka, mau tak mau tenaga PR harus akrab dengan teknologi dan kreatif untuk berhubungan tak hanya di dunia nyata, tetapi juga dalam dunia maya.
Jangan sampai tidak tahu ketika ada masalah mengguncang yang
memperburuk citra walau hanya sebatas e-mail seseorang di dunia maya. Bisa jadi email
tersebut akan meluas, menyebar kepada publik padahal bisa jadi isinya salah dan
menyesatkan. Dalam hal ini tenaga PR harus kreatif dan berinisiatif melakukan klarifikasi atas sebuah pemberitaan dan informasi yang simpang siur dan tidak benar tersebut.

B. Public Relations dan Konsep Diri

Konsep diri seperti pada penjelasan sebelumnya dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Menurut Rogers konsep diri merupakan konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari ’diri subjek’ atau ’diri objek’ dan persepsi-persepsi tentang hubungan-hubungan antar ’diri subjek’ diri objek’ dengan orang lain dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-perseepsi ini (Lindzey & Hall, 1993;201).
Jika manusia mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberi arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya sendiri, hal ini menunjukan suatu kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya untuk melihat dirinya sebaimana ia lakukan terhadap objek-objek lain. Diri yang dilihat, dihayati, dialami ini disebut sebagai konsep diri (Fitts, dalam Agustiani, 2006:139.

Menurut Hurlock (1978:237), pemahaman atau gambaran seseorang mengenai dirinya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Gambaran fisik diri menurut Hurlock, terjadi dari konsep yang dimiliki individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan seksnya, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan perilakunya, dan gengsi yang diberikan tubuhnya di mata orang lain. Sedangkan gambaran psikis diri atau psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain.

Menurut Hurlock (1978:238), konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan ‘good self esteem’, ‘good self confidence’, dan kemampuan melihat diri secara realistik. Sifat-sifat ini memungkinkan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara akurat dan mengarah pada penyesuaian diri yang baik. Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positip terhadap segala sesuatu. Dari sini, kita bisa melihat bahwa seorang PR atau apapun profesi lain pasti sangat menuntut kita untuk memiliki konsep diri positif.

Sebaliknya konsep diri yang negatif menurut Hurlock (1978:238) akan muncul jika seseorang mengembangkan perasaan rendah diri, merasa ragu, kurang pasti serta kurang percaya diri. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan tidak memiliki daya tarik terhadap hidup.

Jadi konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya secara menyeluruh. Konsep diri penting dalam Public Relations untuk mengarahkan interaksi seorang PR dengan lingkungannya (pubik internal dan publik eksternal). Juga sangat berpengaruh dalam membangun kualifikasi PR dalam lima kriteria diatas: 1. Ability to communicate (Kemampuan dalam berkomunikasi), 2. Ability to organize (Kemampuan manajerial), 3. Ability to get on with people (Kemampuan membina relasi) 4. Personality Integrity (Kepribadian jujur dan profesional). 5. Imagination ( kreatif).


UNTUK LEBIH JELAS DAN LENGKAPNYA, SILAHKAN DOWNLOAD FILE RTF DI SINI.


DIFUSI INOVASI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

A. Pengertian Difusi Inovasi Dalam Komunikasi Pembangunan

Banyak sekali pengertian difusi inovasi yang dikemukakan oleh para ahli komunikasi pembangunan. Di antaranya adalah sebagai berikut:

· Difusi adalah proses tersebarnya suatu inovasi ke dalam sistem sosial melalui saluran komunikasi selama periode waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan sistem sosial, difusi juga merupakan suatu jenis perubahan sosial, yaitu proses terjadinya perubahan struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Ketika novasi baru diciptakan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak anggota sistem perubaha sosial, maka konsekuensinya yang uatam adalah terjadinya perubahan sosial (Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker.)

· Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. Sedangkan inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/ atau perekayasaan yang bertujuan mengem-bangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)

· Difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses penyebaran inovasi dari satu individu kepada individu lainnya dalam suatu sistem sosial yang sama (Leta Rafael Levis).

· Seringkali difusi dipandang sebagai suatu proses otonom yang datang dari langit, yang pasti akan menyebarkan ide-ide tentang peningkatan pendapatan dan kemakmuran, yang oleh karena itu menjamin pemerataannya di antara anggota masyarakat (Niels G. Rolling dalam Rogers).

· Difusi inovasi termasuk ke dalam pengertian peran komunikasi secara luas dalam mengubah masyarakat melalui penyebarserapan ide-ide dan hal-hal yang baru. Berlangsungnya suatu perubahan sosial, di antaranya disebabkan diperkenalkannya ataupun dimasukkannya hal-hal, gagasan-gagasan, dan ide-ide yang baru. Hal-hal baru tersebut dikenal sebagai inovasi (Zulkarimen Nasution).

B. Latar Belakang Teori Difusi Inovasi

Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.

Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.

Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”

Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).

Pada tahun 1962 Everett Rogers menulis sebuah buku yang berjudul “ Diffusion of Innovations “ yang selanjutnya buku ini menjadi landasan pemahaman tentang inovasi, mengapa orang mengadopsi inovasi, faktor-faktor sosial apa yang mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses di antara masyarakat.

C. Esensi Teori

Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”

Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan Komunikasi didefinisikan sebagai proses di mana para pelakunya menciptakan informasi dan saling pertukaran informasi tersebut untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam isi pesan itu terdapat ketermasaan (Newness) yang memberikan kepada difusi ciri khusus yang menyangkut ketidakpastian (Uncertainty). Ketidakpastian adalah suatu derajat di mana sejumlah alternatif dirasakannya berkaitan dengan suatu peristiwa beserta kemungkinan-kemungkinan pada alternatif tersebut. Derajat ketidakpastian oleh seseorang akan dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi.

Rogers menyatakan bahwa inovasi adalah ““an idea, practice, or object perceived as new by the individual.” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu). Dengan definisi ini maka kata perceived menjadi kata yang penting karena pada mungkin suatu ide, praktek atau benda akan dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak, tergantung apa yang dirasakan oleh individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut.

Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:

1) Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.

2) Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.

3) Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi
(b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama

Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup:

1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi

2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik

3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.

4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.

5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.

D. Kategori Adopter

Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:

1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.

2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi

3. Early Majority (Pengadopsi awal): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.

4. Late Majority (Pengadopsi Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.

5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.

Inovator merupakan individu-individu yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Kemampuan finansialnya harus cukup mendukung keinginan tersebut, karena belum tentu inovasi yang dicobanya menghasilkan sesuatu yang menguntungkan secara finansial. Mereka juga berhadapan dengan resiko ketidakpastian dalam mengadopsi inovasi. Tidak jarang inovator harus kembali kepada praktek atau metode lama karena inovasi yang dicobanya ternyata tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya. kategori inovator ini, yang memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi, serta memiliki kemampuan finansial yang lebih baik pula. Hal ini dalam prosesnya dapat berakibat pada makin besarnya skala usaha petani besar, dengan kemampuannya untuk melakukan konsolidasi terhadap usahatani-usahatani yang lebih kecil. Apabila inovator cenderung bersifat kosmopolit, maka pengadopsi awal lebih bersifat lokalit. Banyak diantara mereka termasuk kedalam kelompok pembentuk opini. Mereka dapat menjadi panutan bagi anggota sistem sosial lainnya dalam menentukan keputusan untuk mencoba sesuatu yang baru. Hal ini berhubungan dengan jarak sosial mereka relatif dekat dengan sistem sosial yang lain. Mereka mengetahui dengan pasti bahwa untuk memelihara kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka harus membuat keputusan-keputusan inovasi yang tepat, baik dari segi materinya maupun dari segi waktunya.

Pengadopsi awal dengan demikian harus mampu menerima resiko ketidakpastian, dan sekaligus evaluasi subyektifnya mengenai suatu inovasi kepada mereka di lingkungannya. Mayoritas awal mengadopsi suatu ide baru lebih awal dari pada kebanyakan anggota suatu sistem sosial. Mereka sering berhubungan dengan lingkungannya, tetapi jarang dipandang sebagai pembentuk opini. Kehati-hatian merupakan kata kunci bagi mereka sehingga jarang diangkat sebagai pemimpin.

Di pihak lain, mayoritas akhir memandang inovasi dengan skeptisme yang berlebihan, mereka baru mengadopsi suatu inovasi setelah sebagian besar anggota sistem sosial mengadopsi. Mereka memang memerlukan dukungan lingkungannya untuk melakukan adopsi. Hal ini berhubungan dengan ciri-ciri dasarnya yang cenderung kurang akses terhadap sumberdaya. Untuk itu mereka harus yakin bahwa ketidakpastian tidak harus menjadi resiko mereka.

Kelompok akhir adalah kelompok yang paling bersifat lokalit di dalam memandang suatu inovasi. Kebanyakan mereka terisolasi dari lingkungannya, sementara orientasi mereka kebanyakan adalah pada masa lalu. Keputusan-keputusan diwarnai dengan pertimbangan apa yang telah dilakukan pada masa lampau, sedangkan interaksi mereka kebanyakan hanya dengan sesamanya yang mempercayainya tradisi lebih dari yang lain. Mereka memiliki kecurigaan yang tinggi terhadap inovasi, kelompok terdahulu telah berpikir untuk mengadopsi inovasi yang lain lagi.

Semuanya bermula dari keterbatasan sumberdaya yang ada pada mereka, sehingga mereka benar-benar harus yakin bahwa mereka terbatas dari resiko yang dapat membahayakan ketersediaan sumberdaya yang terbatas tersebut. Dengan pengetahuan tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian disusun strategi difusi inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing kelompok adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan sumberdaya hanya karena strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk menghadapi adopter awal misalnya, haruslah berbeda dengan strategi bagi mayoritas akhir, mengingat gambaran ciri-ciri mereka masing-masing (Rogers, 1983).

E. Penerapan Dan Keterkaitan Teori

Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya, teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.

Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.

Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu

1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.

2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.

3. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.

4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.

Mengenai saluran komunikasi sebagai sarana untuk menyebarkan inovasi, Rogers menyatakan bahwa media massa lebih efektif untuk menciptakan pengetahuan tentang inovasi, sedangkan saluran antarpribadi lebih efektif dalam pembentukan dan percobaan sikap terhadap ide baru, jadi dalam upaya mempengaruhi keputusan untuk melakukan adopsi atau menolak ide baru.

Contoh yang lebih fenomenal adalah keberhasilan Pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program Keluarga Berencana (KB). Dalam program tersebut, suatu inovasi yang bernama Keluarga Berencana, dikomunikasikan melalui berbagai saluran komunikasi baik saluran interpersonal maupun saluran komunikasi yang berupa media massa, kepada suatu sistem sosial yaitu seluruh masyarakat Indonesia. Dan itu terjadi dalam kurun waktu tertentu agar inovasi yang bernama Keluarga Berencana Tersebut dapat dimengerti, dipahami, diterima, dan diimplementasikan (diadopsi) oleh masyarakat Indonesia. Program Keluarga Berencana di Indonesia dilaksanakan dengan menerapkan prinsip difusi inovasi. Ini adalah contoh difusi inovasi, dimana inovasinya adalah suatu ide atau program kegiatan, bukan produk.Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup:

1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi

2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik

3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.

4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.

5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA

· Dilla, S. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pendekatan Terpadu. Simbiosa. Bandung.

· Levis, L. R. 1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

· Nasution, Z. 2004. Komunikasi Pembangunan. Pengenalan Teori dan Penerapannya. Rajawali Pers. Jakarta.

· Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

· Rogers, E. M (Ed). 1989, Komunikasi dan Pembangunan: Perspektif Kritis. LP3S. Jakarta.

· Rogers, Everett M. dan F. Floyd Shoemaker. Communication of Innovations. Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya.

· Rogers, E. M. 2003, Diffusion of Innovations: Fifth Edition. Free Press. New York.


UNTUK LEBIH JELAS DAN LENGKAPNYA, SILAHKAN DOWNLOAD FILE RTF DI SINI.


KOMUNIKASI KELOMPOK

Isi Materi :
1. Kelompok dan Pengaruh
2. Faktor-faktor yang mempunyai keefektifan kelompok
3. Bentuk-bentuk komunikasi kelompok

A. Kelompok dan Pengaruh Pada Perilaku Kelompok
1. Klasifikasi Kelompok
a. Kelompok Primer dan Sekunder
• Bersifat dalam dan meluas
• Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal
• Komunikasi menekankan aspek hubungan daripada aspek isi
• Ekspressif dan informal
b. Ingroup dan Out Group
• Ingroup (kelompok kita); kelompok primer dan skunder
• Outgroup (kelompok mereka)
c. Keanggotaan dan Rujukan
• Kelompok yang dijadikan sbg alat ukur untuk menilai diri sendiri/ sikap (rujukan).
• Keanggotaan lebih bersifat formal
d. Deskriptif dan Preskriptif
• Deskriptif; klasifikasi kelompok merujuk pada proses pembentukan secara alamiah.
• Presiptif; merujuk pada langkah-langkah rasional yang harus dilewati oleh anggotanya.

UNTUK LEBIH JELAS DAN LENGKAPNYA, SILAHKAN DOWNLOAD FILE PPT DI SINI.

Jumat, 16 April 2010

MEDIA KOMUNIKASI MASSA TELEVISI

SEJARAH SINGKAT TELEVISI

Penemuan televisi telah melalui berbagai eksperimen yang dilakukan oleh para ilmuwan akhir abad 19 dengan dasar penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan akhir abad 19 dengan dasar penelitian yang dilakukan oleh James Clark Maxwell dan Heinrich Hertz, serta penemuan Marconi pada tahun 1890. Paul Nipkow dan William Jenkins melalui eksperimennya menemukan metode pengiriman gambar melalui kabel (Heibert, Ungrait, Bohn, 1975:283). Televisi sebagai pesawat transmisi dimulai pada tahun 1925 dengan menggunakan metode mekanikal dari Jenkins. Pada tahun 1928 General Electronic Company mulai menyelenggarakan acara siaran televisi secara regular. Pada tahun 1939 Presiden Fanklin D. Roosevelt tampil di layar televisi. Sedangkan siaran televisi komersial di Amerika dimulai pada 1 September 1940.

PERKEMBANGAN METODE PENYAMPAIAN PROGRAM TELEVISI

Over-the-air reception of network and local station program.

Kualitas gambar yang masih kuno ditingkatkan dengan High Density Television (HDTV).

Cable. Program disampaikan ke rumah-rumah dengan kabel di bawah tanah atau dengan tambahan kabel, system cable standard dibakukan tahun 1990-an.

Digital cable. Ini bagian dari information super highway. Dahulu system kabel local dan telepon untuk pelanggan dalam jumlah besar menggunakan kabel kuno. Sekarang diganti dengan kabel serat optic yang di tanam di bawah tanah tetapi memiliki kapasitas lebih tinggi. Kabel serat optic ini dapat memuat 500 lebih saluran. Sistem ini memungkinkan terjadinya komunikasi televise dua arah. Instalasi kabel serat optic ini termasuk program nasional yang memerlukan biaya sangat besar.

Wireless cable. Sejumlah system kabel menyampaikan program bagi pelanggan yang menggunakan transmisi microwave (gelombang pendek) meskipun kabel ini di bawah tanah. Metode ini mengurangi biaya instalasi serat optik, tetapi memerlukan peralatan khusus dalam penerimaan program.

Direct Broadcast Satellite (DBS). Program-program ditransmisikan oleh satelit langsung dengan menggunakan piringan yang berdiameter 18 inci ditaruh di atap rumah atau di Indonesia dikenal dengan istilah antenna parabola. Metode ini merupakan terobosan dalam system televise kabel, yang dimulai di Amerika Serikat sejak tahun 1994.

SEKILAS SEJARAH SIARAN TELEVISI DI INDONESIA

Kegiatan penyiaran melalui media televise di Indonesia dimulai pada tahun 24 Agustus 1962, bertepatan dengan dilangsungkannya pembukaan Pesta Olahraga se-Asia IV atau Asean Games di Senayan. Senjak itu pula Televisi Republik Indonesia yang disingkat TVRI dipergunakan sebagai panggilan stasiun (stasiun call) hingga sekarang (Effendy, 1993:54). Selama tahun 1962-1963 TVRI berada diudara rata-rata satu jam sehari dengan segala kesederhanaannya.

Sejalan dengan kepentingan pemerintah dan keinginan rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah agar dapat menerima siaran televisi, maka pada tanggal 16 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan penggunaan satelit Palapa untuk telekomunikasi dan siaran televisi. Dalam perkembangannya, satelit Palapa A sebagai sebagai generasi pertama diganti dengan Palapa A2, selanjutnya satelit Palapa B. Palapa B2, B2P, B2R dan Palapa B4 diluncurkan tahun 1992 (Effendy,1993: 60-61).

TVRI yang berada di bawah Departemen Penerangan pada saat itu, kini siarannya sudah dapat menjangkau hampir seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah sekira 210 juta jiwa. Senjak tahun 1989 TVRI mendapatkan saingan televise siaran lainnya, yakni Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang bersifat komersial. Secara berturut-turut berdiri stasiun televisi, Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Andalas Televisi (ANTV), Indosiar, TV7, Lativi yang berubah menjadi TV One, Metro Tv, Trans TV, Global TV, dan televise-televisi daerah seperti Bandung TV, Jak TV, Bali TV,dan lain-lain.

FUNGSI TELEVISI

Fungsi Televisi sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar dan radio siaran), yakni member informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Tetapi fungsi menghibur lebih dominan pada media televise sebagaimana hasil penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Falkultas Ilmu Komunikasi UNPAD, yang menyatakan bahwa pada umumnya tujuan utama khalayak menonton televise adalah untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi.

KARAKTERISTIK TELEVISI

Audiovisual

Berpikir dalam Gambar

Pengoperasian Lebih Kompleks

FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN

Pemirsa

Waktu

Durasi

Metode Penyajian

HAMBATAN KOMUNIKASI MEDIA TELEVISI

Hambatan yang sering terjadi didalam komunikasi televisi adalah hambatan mekanis. Hambatan mekanis pada media televise terjadi pada saat stasiun atau pemancar penerima mendapat gangguan baik secara teknis maupun akibat cuaca buruk, sehingga gambar yang diterima pada pesawat televisi tidak jelas, buram, banyak garis atau tidak ada gambar sama sekali.

PENGARUH TELEVISI KEPADA BAGI MASYARAKAT INDONESIA

Consumerism and materialism is killing nature. Dua hal tersebut merupakan jargon yang senantiasa didendangkan televisi dalam setiap detik tayangannya. Padahal, mengkonsumsi dan membeli lebih sedikit barang-barang (terutama yang sifatnya non-essential) tidak hanya menghemat anggaran tetapi juga meminimumkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Living with social pressure. Televisi mengajarkan kita untuk living the way society wants it, not the way we want (need) it. Identitas diri kita bukan lagi apa yang ada dalam hati dan pikiran kita, tetapi menjadi apa yang didiktekan oleh televisi. TV menyiarkan A, besoknya kita ikut-ikutan A. TV mendengungkan B, kita merasa malu kalau tidak ikut B.

UNTUK LEBIH JELAS DAN LENGKAPNYA, "DOWNLOAD" FILE PPT DI SINI.